Sejarah Desa Cibuntu

Disebuah perbukitan yang terletak antara Daerah Banten dan Bogor Jawa Barat terdapat sebuah tempat yang disebut Pedukuhan Bojong Sampir. Disanalah sepasang suami istri paruh baya dengan 2 orang anak laki-lakinya hidup rukun damai.
Suami yang kemudian disebut ayah bernama Mpu Sanur dan istri yang kemudian disebut ibu bernama Nyi Jareni. Anak pertama bernama Panduka lahir tahun 1421 SM dan adiknya Linangse lahir tahun 1418 SM.
Pada tahun 1400 SM, kakak beradik sepakat untuk mencari ilmu sebagai tambahan ilmu kanuragan warisan dari sang ayah. Dengan berat hati ayah ibu mengijinkan kedua puteranya dengan pesan sebagai berikut :
1. Berjalanlah dengan menjemput matahari pagi ( ke arah Timur ) dan bertapalah di Gunung Gede untuk Carem ( lebur diri )
2. Ingatlah selalu Semboyan Leluhur, yaitu : MUNGAL - MANGIL - MUNGUK.
3. Tinggalkanlah pesan abadi untuk keturunan dan sesama

Pergilah ngger anakku janganlah berpaling dari Hyang Agung. Panduka dan Linangse serempak berkata : ayah ibu junjungan hamba, hamba berdua mohon do'a restu.
Keduanya berjalan sesuai arah petunjuk dari sang ayah. Setelah 30 hari perjalanannya, sampailah mereka ke pegunungan yang kemudian disebut Gunung Korombong. Di Gunung Korombong tinggallah Mpu Rawelan dan istrinya Nyi Rauning dengan 2 orang anak perempuannya yaitu Petak Anjagi dan Petak Tinande Panduka dan Linangse singgah digubuk tua milik Mpu Rawelan untuk mendapat seteguk air pelepas dahaga dan menceritakan maksud tujuan mencari Gunung Gede untuk Carem.
Mpu Rawelan tertarik hatinya untuk mengikuti langkah pemuda tamunya, tapi ia ewuh pakewuh perihal anak istrinya.
Cerita ki sanak sungguh sangat menarik, kami ingin mendampingi perjalanan ki sanak. Kalau ki sanak tidak keberatan, bagaimana jika kedua putri kami, kami hadiahkan untuk menjadi pendamping ki sanak.
Panduka dan Linangse menunduk tersipu malu. Orang tua ini tahu betul apa yang kami bayangkan setelah melihat kedua putrinya dan berkata Sumangga Mpu-Sumangga.
Setelah resmi sebagai suami istri Panduka dengan Petak Anjagi dan Linangse dengan Petak Tinande, mereka berenam sepakat untuk meneruskan perjalanan ke gunung Gede. Setelah 3 hari perjalanan sampailah ke suatu tempat yang kemudian Mpu Rawelan menganjurkan untuk beristirahat.
Panduka, Linangse, kita sudah sampai ke kaki gunung Gede, tempat ini layak untuk kita bersemedi kepada Hyang Agung. Kalau setuju mari kita kumpulkan bahan untuk membuat Dangau ( Saung ). Setelah mengaso mereka berenam mulai bekerja membabad lahan dan membuat dangau (saung) terdiri dari 4 ruang yaitu 3 ruang istirahat dan 1 ruang dapur. Kurang lebih seminggu kemudian Mpu Rawelan berunding untuk memberi nama tempat tinggal mereka dan nama yang disepakati yaitu : PAMILARAN. MILAR = bergeser = menjauh dari tempat semula (meninggalkan keramaian).
Siang hari Panduka dan Linangse bekerja keras untuk menata sekitar tempat tinggal dan lingkungannya, malam hari ber SAMADI.

Sekitar tahun 1395 SM dari pasangan Linangse dan Nyi Petak Tinande lahir seorang anak lelaki bernama Sawangrasa dan sekitar tahun 1390 SM dari pasangan Panduka dan Nyi Petak Anjagi lahir seorang anak perempuan bernama Nyi Petak Kemangsen.
Setelah dewasa, sawangrasa berjodoh dengan Nyi Petak Kemangsen dan dari pasangan ini sekitar tahun 1365 SM lahir seorang anak lelaki bernama Lingga Winara.
Ketika usia Lingga Winara mencapai 17 tahun, Linangse teringat mimpi pada saat Lingga Winara dalam kandungan bahwa, pesan ayahnya (Mpu Sanur) yang ketiga mengenai pesan abadi baru akan terlaksana setelah cucunya dewasa. Kebetulan cucu tersebut bernama Lingga Winara.
Linangse berunding dengan kakaknya (Panduka) dengan Sawangrasa (anaknya) sekaligus ayah Lingga winara serta Mpu Rawelan selaku mertua. Mereka sepakat untuk membuat candi-candi di sekitar kampung Pamilaran sambil tetap eling dan mohon petunjuk Hyang Agung.

Siang malam ke 9 anggota keluarga merancang letak dan mengumpulkan bahan untuk pembuatan candi.
Hal benda yang disimpan, maka giliran Panduka yang memberi nama yaitu “ GONG KANG MUNI DEWEK “ maksudnya gong yang berbunyi sendiri sebagai penyampaian pesan abadi.
Pembangunan candi/lingga secara bertahap dianggap selesai pada waktu 33 tahun yaitu dari tahun 1348 SM-1315 SM.
Pada tahun 1315 SM seperti biasanya mereka bergantian mandi, mengambil air dari sebuah mata air yang sama seperti sebelumnya. Tiba-tiba Mpu Rawelan berkata, wahai anak cucuku sadarkah kalian betapa perbedaan aliran air yang kita gunakan dari aliran-aliran air yang lain yang rata-rata mengalir dari selatan ke utara, sedangkan yang satu ini keluar dari sebelah timur mengalir ke barat.
Timur = Wetan ( wiwitan - terjemahan bebas ), maka kalau kalian setuju sumber air ini akan diberi nama Cikahuripan (air kehidupan), semua anak cucu menyatakan setuju. Mpu Rawelan menambahkan mudah-mudahan esok lusa atas Kersa Hyang Agung air ini bisa menjadi obat.
Begitulah keturunan Bojong Sampir antara Banten Bogor dengan keturunan Gunung Korombong sebelah selatan Palimanan menjadi penghuni awal wilayah ini hingga akhir abad ke 15 Tahun Masehi.

GENERASI BUYUT KAIDIN


Tidak begitu jelas apakah tokoh yang satu ini lahir dari generasi asal usul tadi atau campuran atau pendatang, munculah sosok pemuda gagah perkasa, berilmu tinggi, berbudi luhur bernama KAIDIN. Ia penganut Agama Islam yang taat dan disegani, ia beristrikan NYI SEREH. Ia mulai berpikir tentang batas terotorial sebab melihat sawah ladang sudah ada sesuai kebutuhan waktu itu. Memimpin rombongan tentang batas yang disepakati sebelah Timur dengan Desa Seda, sebelah Barat Desa Pasawahan, sebelah Utara dengan Desa Paniis dan sebelah Selatan Gunung Ciremai.
Pada saat musyawarah dengan Desa Pasawahan terjadilah selisih pendapat. Disatu pihak Kaidin menghendaki batas sebelah barat batu besar luar biasa berbentuk cot, dipihak lain Desa Pasawahan bersikeras batu besar itulah sebagai batas wilayah.
Perdebatan tak terelakan, lalu Kaidin mengkonfirmasi Pasawahan hal batas yang mereka kehendaki. Akhir cerita disetujuilah oleh Kaidin bahwa batu besar sebagai batas permanen. Salam sumpahpun dilakukan.

Hari-hari berikutnya masyarakat geger, batu besar pindah sendiri- batu besar pindah sendiri. Lalu dicek ke lokasi memang benar batu besar itu pindah ke titik yang semula ditunjuk oleh Kaidin. Dan batu tersebut disebut BATU KAIDIN.

Dari segalanya itulah Kaidin dinobatkan oleh masyarakatnya untuk menjadi Pimpinan/Kuwu pada tahun 1630 M.
Pada tahun itu pula ia menuntaskan ilmu kesempurnaan dengan para tokoh dari Keraton Cirebon. Ternyata ia dianggap sudah mumpuni sampai ke ujung. Tempatnya di Sibubur.
Pihak keraton dan Kaidin mempertimbangkan tentang ilmu yang telah mencapai puncak ( BUNTU) dihubungkan dengan asal mula kejadian ACINING EMBUN KANG ESTU ( CIBUNTU ) 1630 - 1670 M.

GENERASI BUYUT NGABEHI SACATUHU


Tokoh yang satu ini adalah penerus Buyut Kaidin yang mendapat mandat dari Keraton Cirebon untuk memimpin Desa dan masyarakat Desa Cibuntu bidang Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan serta Agama Islam. Ia bergelar NGABEHI = mencakup segala hal (komprehensif) tahun 1670 - 1701 M dan diteruskan oleh putranya yaitu Mbah Dangu.

BUYUT NURAKSAN S/D


KAMSIN


Buyut Nuraksan sebaya dengan Buyut Lipur dan Buyut Aseng dan mereka sepakat memimpin Desa berdasarkan urutan usia ( kelahiran ) lalu Buyut Enggol mengikuti pola yang sama dengan Buyut Kamsin.
Tokoh-tokoh pada generasi ini mengadakan penyempurnaan sarana dan prasarana lingkungan seperti Balai Desa, Masjid, saluran air, jalan, sawah, ladang dan sebagainya.

PRA DAN PASKA KEMERDEKAAN


· Pada tahun 1921, Buyut Kamsin digantikan oleh putranya yang bernama Buyut M. Atmawijaya hingga tahun 1948 saat terjadi perang gerilya melawan penjajahan Belanda.
Pada masa Pemerintahan Buyut M. Atmawijaya, tahun 1937 Gunung Ciremai meletus, warga Desa Cibuntu mengungsi ke luar diantaranya ke Desa Paniis. Untuk mengurangi beban warga Desa pengungsian, Pemerintah memberi izin tinggal di areal Tanah Negara ( GG atau Pengangonan ) kepada masyarakat pengungsi asal Cibuntu yaitu di lokasi yang kemudian diberi nama SUKAMANAH. Maka Pemerintah Desa beserta warganya untuk sementara membangun tempat tinggal sederhana, Balai Desa, Masjid dan jalan.
Pada masa pengungsian, masyarakat hidup susah. Tiap pagi berjalan naik ke Cibuntu untuk bertani dan beternak, sore hari turun kembali ke Sukamanah yang berjarak 3 km. tiap pagi dan sore mereka mandi, cuci, kakus dan keperluan air untuk minum dan memasak yaitu dari Cibetul dan Sikalomberan ( jarak keduanya rata-rata 1 km ).
Disisi lain Pemerintah tidak hanya memberi ijin tinggal, lebih dari itu bahkan memberikan bukti pemilikan atas tanah yang mereka tempati dalam bentuk L.D pada tahun 1941.
Pada tahun 1942 masyarakat berangsur-angsur pindah kembali ke tempat asal ( Cibuntu ) sampai tahun 1945. Keuntungan yang mereka peroleh adalah keselamatan dan L.D tanah. Mereka mulai menata kembali kampung halaman mereka sedikit demi sedikit.
· Tahun 1948, Buyut M. Atmawijaya meninggal dunia dan putra nomor 2 bernama K. Danawijaya terpilih untuk menjadi Kepala Desa/Kuwu hingga tahun 1953.
· Tahun 1953, K. Danawijaya berhenti atas kehendak sendiri karena pekerjaan barunya di kota Bandung.
· Tahun 1953 - 1967 A. Sastrawijaya terpilih sebagai Kuwu Cibuntu.
Kiranya cobaan belum selesai, pada tahun 1953 giliran Gerombolan DI/TII yang mengancam keselamatan warga. Cobaan yang tak kalah berat ini berjalan selama 9 tahun ( sampai tahun 1962 ). Mulai saat itulah barangkali warga Desa Cibuntu mulai menggeliat dan berjalan tertatih-tatih untuk menata diri dan keluarganya serta sarana dan prasarana umum.
· Masih pada masa Pemerintahan Abah A. Sastrawijaya, tahun 1967 Bapak Sujai menemukan benda purbakala di kebun sebelah rumahnya ( Peti batu dalam tanah berisi Kapak Genggam 11 buah ) benda tersebut di bawa ke Kuningan. Pada tahun yang sama (Tahun 1967) ditemukan benda-benda Purbakala berupa Kapak Genggam terbuat dari batu berwarna Virus/Hijau berjumlah 4 buah yang kemudian diambil oleh Pemda Kabupaten Kuningan yang katanya disimpan di Musium Cipari berikut peti batunya 6 bidang berat 2 ton.

Pada saat Pemerintahan Abah A. Sastrawijaya lah penulis mulai mendengar nama-nama situs mulai dari :
1. Ceker Kidang
2. Buyut Kencring / Loa
3. Sidarangdan / Ruyuk Cucuk
4. Sorog Jaya
5. Sibubur / Hulu Dayeuh
6. Karapyak / Bujal Dayeuh
7. Jeruk Bonteng / Birit Dayeuh
8. Saurip Kaler - Saurip Kidul
9. Aki Mangkuning / Sikeris
10. Panyusupan, dan lain-lain

· Akhir tahun 1967, Bpk. H. Edi Kurdi menjadi Kuwu yang ke 13.
Tahun 1972 bulan Februari diadakan penggalian besar-besaran oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan beserta Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional dari Jakarta.
- Perwakilan dari Pemda Kuningan : JATI KUSUMAH (cigugur)
- Perwakilan dari Kebudayaan : UKA CANDRASASMITA
- Perwakilan dari Jakarta ( Universitas TRISAKTI ) antara lain : Drs. HARIS SUKANDAR dan selaku Pimpinan Tim Drs. TEGUH ASMAR MA.
Dari 2 lokasi di sekitar alun-alun sebanyak puluhan Kapak Genggam berwarna Hijau (Virus), Gelang dan Kelenting ( seperti kendi kecil) kemudian 1 Kapak Genggam dari Saurip kidul berwarna Ati Ayam.

dimana benda-benda itu sekarang ?


Kami benar-benar tidak tahu dan memohon pelurusan hak dan kewajiban kami terhadap benda-benda tersebut.
· Tahun 1979 Bpk. Amangkurat Menjadi Kuwu/Kepala Desa sampai tahun 1986, tahun 1986 sampai 1995 oleh Bapak Enda Rukendana, tahun 1995 sampai 2003 oleh Bpk. Amangkurat, tahun 2003 sampai sekarang oleh Bpk H. Awam.



Kembali Keberanda